Oleh: Isma Maulana Ihsan (Mas Can)
Mahasiswa S1 Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber foto: pribadi (Mas Can) |
Restorasi.id - Kritik terhadap kebijakan pemerintah merupakan keniscayaan dalam sebuah negara demokrasi. Kritik merupakan bentuk "partisipasi" masyarakat dalam mengawal dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Menjadi persoalan kemudian, dewasa ini; kadang kita menemui orang-orang yang melakukan kritik terlalu 'over' dan terkesan "ih kok gitu?". Contoh kasus paling hangat, adalah seorang Mahasiswa bernama Yudha yang mengkritisi Dedi Mulyadi yang katanya, "Kenapa membersihkan sampah? Wewenangnya apa? Dasar hukumnya apa?"
Tidak masalah memang, dan tokoh kang Dedi Mulyadi pun sudah memaafkan dan memberi tolerir dan penjelasan pada Mahasiswa yang oleh netijen diberi julukan Mahasiswa 'Artinya'. Hanya menjadi pusat perhatian tulisan ini ialah, kritik yang baik sebenarnya bukan kritik yang selalu dibubuhi dengan usulan penyelesaian juga. Karena memang, pada hakikatnya kita mengkritik sesuatu adalah untuk memberikan penjelasan alternatif lain kepada yang kita kritik bahwasannya, "Ini bisa lho, kita pake yang kek ginian daripada kek gitu, bikin ribet dan sebagainya".
Baca juga: Radikalisme dan Kegagalan Ekonomi
Artinya, kritik tidak selalu melulu harus dengan solusi. Karena tugas menyelesaikan ketidakberesan dalam sebuah kebijakan adalah pemegang kebijakan, mereka dipilih untuk menyelesaikan permasalahan, kalau ada perumus atau pemegang kebijakan yang cakap, "Mbok ya jangan kritik doang!. Sertakan juga solusinya" pada nyatanya, mereka melegetimasi dirinya bahwa mereka tidak becus dalam menyelesaikan persoalan dan menjawab kritikan.
Dalam Bahasa sederhana, data dibalas data, baku hantam dibalas baku hantam. Bukan kritik dibalas doxing, kritik dibalas bui!- seperti marak akhir-akhir ini. Namun, di sisi lain, kita pun melihat bagaimana orang-orang yang mengkritik itu keluar daripada subtansinya dan mengarah kepada penghinaan untuk yang di kritiknya.
Seperti, kritik kepada Presiden Joko Widodo, disisi lain mereka mengkritik kebijakan yang diambil namun tak jarang dari kritik tersebut juga dibubuhkan entah dengan tujuan memancing kontroversi sehingga menjadi viral dan kemudian menjadi konsumsi publik, atau memang secara sengaja ingin 'menghina' saja atau malahan 'nggak sengaja'.
Seperti, berkata bahwa Jokowi kurus kerempeng dan sejenisnya. Meski, itu merupakan 'fakta' misalnya namun tetap disini keluar dari substansi yang dikritik!. Karena apa korelasinya-misalnya, kebijakan Jokowi tentang keukeuh-nya ingin agar UU Ciptaker berjalan dengan badan jokowi yang kurus?
Soe Hok Gie, dulu mengkritik Soekarno dan ia tidak menyukai pemerintahan yang dirasainya, seolah-olah merayakan demokrasi tapi memotong lidah siapa saja yang bertentangan dengan pemerintah. Tapi, Soe seperti dalam tulisannya hanya tidak menyukai Soekarno sebagai "pemimpin" tapi ia begitu menyukai Bung Besar sebagai seorang "Manusia".
Menjadi persoalan kemudian, dewasa ini; kadang kita menemui orang-orang yang melakukan kritik terlalu 'over' dan terkesan "ih kok gitu?". Contoh kasus paling hangat, adalah seorang Mahasiswa bernama Yudha yang mengkritisi Dedi Mulyadi yang katanya, "Kenapa membersihkan sampah? Wewenangnya apa? Dasar hukumnya apa?"
Tidak masalah memang, dan tokoh kang Dedi Mulyadi pun sudah memaafkan dan memberi tolerir dan penjelasan pada Mahasiswa yang oleh netijen diberi julukan Mahasiswa 'Artinya'. Hanya menjadi pusat perhatian tulisan ini ialah, kritik yang baik sebenarnya bukan kritik yang selalu dibubuhi dengan usulan penyelesaian juga. Karena memang, pada hakikatnya kita mengkritik sesuatu adalah untuk memberikan penjelasan alternatif lain kepada yang kita kritik bahwasannya, "Ini bisa lho, kita pake yang kek ginian daripada kek gitu, bikin ribet dan sebagainya".
Baca juga: Radikalisme dan Kegagalan Ekonomi
Artinya, kritik tidak selalu melulu harus dengan solusi. Karena tugas menyelesaikan ketidakberesan dalam sebuah kebijakan adalah pemegang kebijakan, mereka dipilih untuk menyelesaikan permasalahan, kalau ada perumus atau pemegang kebijakan yang cakap, "Mbok ya jangan kritik doang!. Sertakan juga solusinya" pada nyatanya, mereka melegetimasi dirinya bahwa mereka tidak becus dalam menyelesaikan persoalan dan menjawab kritikan.
Dalam Bahasa sederhana, data dibalas data, baku hantam dibalas baku hantam. Bukan kritik dibalas doxing, kritik dibalas bui!- seperti marak akhir-akhir ini. Namun, di sisi lain, kita pun melihat bagaimana orang-orang yang mengkritik itu keluar daripada subtansinya dan mengarah kepada penghinaan untuk yang di kritiknya.
Seperti, kritik kepada Presiden Joko Widodo, disisi lain mereka mengkritik kebijakan yang diambil namun tak jarang dari kritik tersebut juga dibubuhkan entah dengan tujuan memancing kontroversi sehingga menjadi viral dan kemudian menjadi konsumsi publik, atau memang secara sengaja ingin 'menghina' saja atau malahan 'nggak sengaja'.
Seperti, berkata bahwa Jokowi kurus kerempeng dan sejenisnya. Meski, itu merupakan 'fakta' misalnya namun tetap disini keluar dari substansi yang dikritik!. Karena apa korelasinya-misalnya, kebijakan Jokowi tentang keukeuh-nya ingin agar UU Ciptaker berjalan dengan badan jokowi yang kurus?
Soe Hok Gie, dulu mengkritik Soekarno dan ia tidak menyukai pemerintahan yang dirasainya, seolah-olah merayakan demokrasi tapi memotong lidah siapa saja yang bertentangan dengan pemerintah. Tapi, Soe seperti dalam tulisannya hanya tidak menyukai Soekarno sebagai "pemimpin" tapi ia begitu menyukai Bung Besar sebagai seorang "Manusia".
Baca juga: Omnibus Law Hanya Memperburuk Nasib Petani
Rasa-rasanya, kita harus mulai bisa membedakan mana yang sesuai dengan substansi kritik kita dan mana yang dapat membuat kritik kita dinilai "aneh-aneh" oleh mereka yang membacanya.