Oleh: Isma Maulana Ihsan (Mas Can)
Mahasiswa Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber foto: the Conversation |
Restorasi.id - Manusia memiliki tujuan yang hakiki dan fundamental dalam hidupnya di dunia yang fana ini. Jika tujuan itu tercapai maka ia sudah benar-benar hidup tapi jika tujuan itu belum atau bahkan tidak tercapainya maka sesungguhnya ia tidaklah pernah benar-benar hidup sebagai khalifah di buminya.
Kurangnya begitulah, gambaran tujuan hidup seorang manusia di dunia. Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-ku" (Qs. Ad-Dzariyat: 56).
Pada perkembangannya, ibadah tidaklah sebatas kepada hal-hal yang bersifat ubudiyah seperti: Salat, zakat, umrah atau sejenisnya. Melainkan lebih dari itu, intisari daripada salat sendiri adalah bukan pada saat pelaksanaan salat itu akan tetapi setelah salat itu (Rumi: Fihi Ma Fihi).
Maka, ibadah itu pun harus didasari dengan ilmu. Dalam al-Majmu Al Fatawa Karya Imam Ibnu at-Taimiyah, 2:282 memaparkan, "Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa didasari oleh ilmu maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh" .
Menurut Horace Mayer Kallen (seorang filsuf Amerika kelahiran Jerman yang mendukung Pluralisme dan Zionime: 1882-1974) memberikan definisi tersendiri berkenaan dengan radikalisme. Menurutnya, "Radikalisme memiliki kekayaan yang kuat akan kebenaran ideologi atau program yang mereka bawa.
Menutur pada artikel dosenpendidikan.co.id munculnya radikalisme pertama kali disekitaran abad ke-19 dan terus berkembang sampai sekarang. Dalam kondisi masyarakat barat yang sekuler hal ini ditandai dengan keberhasilan industralisasi pada hal-hal positif di satu sisi lainnya negatif.
Belakangan, di Indonesia sendiri memang santer dalam pemberitaan mainstream atau pun dalam kanal-kanal media sosial tentang isu radikalisme. Yang hal ini merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat untuk menjawabnya.
Namun, jika kita menilik pernyataan Peneliti dari Sinaksak Center, Dr. Salman Pasaribu di Jakarta pada Rabu (20/01/2016) radikalisme akan tumbuh subur di suatu negara karena tiga faktor pendukung yakni, kekuatan jaringan antara dalam dan luar negeri, budaya permisif (suka membolehkan atau suka mengizinkan) dari sebuah masyarakat serta lemahnya pencegahan atau penegakan hukum oleh pemerintah terhadap kelompok yang dapat dikategorikan teroris.
Menutur pada penjelasan As'ad Said Ali (2012) dalam Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi menyatakan bahwa berbagai organisasi/Gerakan Islam non-mainstream berpaham radikal terus menjamur pasca runtuhnya Orde baru, dalam hal ini dapat disebut contohnya seperti Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiyah atau bahkan Jamaah Ansharut Daulah. Pola-pola pergerakan mereka juga beragam, mulai dari Gerakan moral ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir serta yang mengarah kepada gaya kemiliteran seperti Laskar Jihad dan Front Pemuda Islam Surakarta.
Ciri-ciri mereka sendiri sangatlah mudah untuk dikenali. Hal tersebut karena mereka memang pada umumnya ingin dikenali dan terkenal dengan tujuan agar mendapat simpati dan dukungan orang banyak.
Radikalisme adalah tanggapan pada kondisi yang sedang terjadi. Tanggapan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk evaluasi, penolakan bahkan perlawanan dengan keras, melakukan upaya secara terus menerus untuk menuntut dan melakukan perubahan drastis yang diinginkan, orang-orang yang menganut paham radikalisme biasanya memiliki keyakinan yang kuat terhadap program yang akan mereka jalankan, penganut ini juga tidak segan-segan melakukan cara kekerasan dalam mewujudkan tujuannya serta memiliki anggapan bahwa siapa saja yang berbeda pandangan dengan mereka adalah salah dan bahkan ada yang sampai dikafirkan.
Prof Musda Mulia dalam artikelnya Perempuan dalam Gerakan Terorisme menjelaskan bahwa dalam Tindakan terorisme di Indonesia terus mengalami perkembangan dalam hal pelakunya. Aksi teror bom bunuh diri banyak melibatkan perempuan.
Radikalisme dalam kacamata Politik
Rocky Gerung, dalam beberapa kesempatan menganalisa tentang isu Radikalisme menurutnya, pemerintah Indonesia gagap dan gugup dalam merumuskan apa problem bangsa Indonesia ini? Sebab, jika ada seorang yang melakukan aksi atau berteriak tentang susunan baru sistem di Tanah air itu merupakan individual. Yang menjadi bahaya, adalah Kktika hal tersebut di organisir.
Dalam podcast-nya Deddy Courbuzier, peneliti Demokrasi ini memaparkan kembali jika isu radikalisme yang berkembang di Indonesia adalah sebab kegagalan pemerintah dalam hal ekonomi. Untuk menutupi kegagalan tersebut maka pemerintah melakukan pengalihan isu dengan radikalisme agar masyarakat teralihkan perhatiannya kepada hal-hal yang tidak kontekstual dalam pengawalan dan pengawasan terhadap pemerintah.
"Ada sekitar 30 Negara di dunia ini yang mengalami krisis sosial, Erofa, spanyol, inggris, hongkong, amerika latin segala macem itu tidak mengalami radikalisme tapi mengalami krisis daya beli itu, jadi kita lihat dunia ini mengalami permasalahan justice bukan radikalisme. Jadi pemerintah (Indonesia) sebenarnya gugup dan gagap dalam merumuskan permasalahan bangsa" terangnya.
Akibat dari isu-isu yang dihembuskan oleh "kelompok kepentingan" itu dan dikembangkan media belakangan, membuat radikalisme ini menjadi sebuah ketakutan dan kecemasan, Rocky menganggap bahwa ada yang sengaja menggulirkan isu ini untuk mencegah politik Islam, "Kata itu sekarang menakutkan, karena diajukan untuk menghalangi pikiran, komunikasi lain, di dalam Bahasa yang lebih telanjang, hal itu diarahkan untuk Politik Islam" tuturnya.
Ia juga menyayangkan pada sikap yang diambil oleh pemerintah, yang selalu menggencar isu radikalisme tapi kemudian tidak menjelaskan siapa pelaku radikalisme, "Saya menganggap bahwa siapa yang dituduh kaum radikal itu? Nggak bisa diucapkan, tunjukan mana yang radikal, itu rahasia intelejen, nah kalau rahasia intelejen lakukan deradikalisasi dengan cara intelejen" tambahnya.
Meski radix berarti bahwa tanah, namun secara etimologi radikalisme merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya. "Jadi kita masuk pada kekacauan itu, padahal kata radikal kembali lagi pada etimologinya, upaya kuat sekuat tenaga untuk mencari persoalan sampai ke akar-akarnya" ungkap laki-laki yang kadang di sapa Roger itu.
Apabila kita menilik pernyataan sikap Pengamat politik itu diberbagai kesempatan di televisi maupun melalui Media YouTube. Rocky Gerung ini merupakan kelompok penekan (pressure group) yaitu kelompok yang bertujuan mengupayakan atau memperjuangkan keputusan politik yang berupa kebijakan. Kelompok ini biasanya tampil ke depan dengan berbagai cara untuk menciptakan pendapat umum, cara-caranya bisa melakukan kontroversi yang kemudian menjadi diskusi publik atau hal-hal serupa.
Sedang, pengamatan yang Rocky sebutkan kepada pemerintah adalah sebuah analisis politik, yaitu tentang pengalihan isu untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam masalah ekonomi. Dalam konteks ke Indonesia-an jaman dewasa ini memang dapat kita lihat, kita selalu terfokus pada hal-hal remeh temeh, Anies Matta pernah mengatakan bahwa kita jangan menghabiskan energi untuk masalah-masalah kecil. Karena bangsa yang besar dimulai dari fokus pikirannya.
Namun, apakah memang benar Isu Radikalisme itu hanya untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam bidang ekonomi saja? Kita lihat fakta yang terjadi selama kepemimpinan Jokowi!
Beberapa fakta yang penulis temukan dalam artikel di kontan.co.id mengungkapkan bahwa pada jilid pertama pemerintahan Jokowi ditutup dengan situasi ekonomi yang matang.
Mentri Koordinator Bidang Perekenomian masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Darmin Nasution menyatakan bahwa capaian yang ditorehkan pemerintah di bidang perekonomian selama periode pertama sudah baik. Menurutnya, setidaknya ada empat indikator makro-ekonomi yang menjadi prestasi periode pertama:
Dengan melihat realitas dan data yang dipaparkan, apabila melihat dalam konteks yang berbeda memang kita tidak bisa membenarkan secara sepenuhnya dan tidak bisa juga menolak seluruh argumentasi dalam sudut pandang Pengamat politik, Rocky gerung.
Yang menjadi fokus persoalannya sebenarnya bukan pada apakah isu radikalisme adalah alat politik penguasa saja untuk menutupi kegagalannya. Tapi, fokusnya justru ada pemahaman keagamaan. Di lapangan sendiri, pada tahun 2021 semester II ini sekurangnya ada 216 orang ditangkap terkait Terorisme. Radikalisme yang merujuk pada terorisme sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegera kita, pemahaman agama yang sempit dan terbatas namun dibarengi dengan keinginan untuk beribadah, rasa-rasanya menjadi bahaya dan ngeri.
Arus informasi yang kuat, pertukaran paham dan ideologi atau keyakinan begitu masif di media sosial, jika tidak dibarengi dengan ke-krititisan dalam berpikir dan menyaring informasi maka akan menjadi benalu bagi diri sendiri di masa depan, maka apabila kita bisa untuk berpikir kritis dalam menyaring informasi, terealisasilah Al-Baqarah ayat 219 itu, "Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu agar kamu memikirkannya". Dan kita menjadi seorang manusia yang berilmu dan diangkat drajatnya oleh Allah SWT sebagaimana janjinya dalam Al-Qur'an Surat Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya:
"Allah akan meninggikan orang-orang beriman dari kamu sekalian dan orang-orang berilmu beberapa drajat"
Dan ciri seorang yang berilmu adalah bertoleransi, salah satu penyebab adanya terorisme dan radikalisme adalah menganggap dirinya benar sendiri dan menyalahkan orang lain, Jusuf Kalla mantan wakil Presiden Indonesia pernah menerangkan bahwasannya benar sendiri tidaklah salah, karena jika kita tidak menganggap diri kita benar, kenapa kita masih bertahan dengan prinsip-prinsip kita? Tapi, yang menjadi persoalan adalah ketika kita menganggap diri kita benar kemudian menyalahkan orang lain. Begitu juga dalam beragama, meskipun Allah SWT mengatakan, "Agama yang paling diridlai Allah adalah Islam" (Qs. Ali Imran: 19) dan juga berfirman, "Barangsiapa mencari selain agama Islam untuk ia peluk, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi" (Qs. Ali Imran: 85) namun Allah sendiri memerintah hambanya agar bertoleransi sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Kafirun yang artinya sebagai berikut:
"Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku" (Qs. Al-Kafirun: 4-6)
Dengan saling bertoleransi dan memahami serta menjalankan agama dalam keberagaman akan menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegera yang harmonis. Terlebih, UUD NRI Tahun 1945 pada pasal 29 ayat 1-2 menerangkan, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha esa (1) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (2)" artinya Negara sendiri menjamin keselamatan dan agamanya masing-masing. Akan terciptanya hubungan harmonis, jika kemudian Mayoritas melindungi yang minoritas dan yang minoritas menghormati yang mayoritas.
Mari kita lawan radikalisme ini dengan semangat persatuan, pemerintah melalui Kementrian Agama sudah melakukan pemantauan secara ketat terhadap dunia Pendidikan termasuk pihak-pihak sekolah yang berpotensi menyebarkan paham yang bertentangan dengan ideologi Negara.
Penghapusan stigma dan perangkulan kepada mereka yang telah terpapar sangat diperlukan. Pendekatan humanis yang merangkul sabagi saudara dan peranserta dari kedua organisasi besar Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sangat diperlukan dan harus gencar dalam kampanye ajaran Islam rahmatan lil alamin, serta kepada seluruh organisasi keagamaan juga harus ikut andil dalam pencegahan radikalisme karena pada nyatanya, radikalisme tidak terbatas oleh kepercayaan dan aliran ia bisa menjangkiti siapapun dan kapanpun. Dan pemerintah sendiri, harus secara tegas melakukan penerapan hukum kepada organisasi atau orang yang melakukan aksi teror dan bertentangan dengan konsensus kita sebagai bangsa.
Kita sebenarnya mempunya falsafah hidup sebagai bangsa yang merdeka dan beragam, yaitu Pancasila. Lima sila yang kemudian menjadi dasar, dengan meyakini akan keberadaan Tuhan yang mahaesa dengan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab guna memperjuangkan persatuan demi terlaksananya musyawarah yang mengarah pada mufakat demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan inilah, kita bisa bersatu sebagai satu nesia.
Maulana Jalaludin Rumi dalam kitab Fihi Ma Fihi menerangkan, ibarat seorang yang ditunjuk oleh rajanya untuk melakukan tugas di suatu tempat dan ketika mengisi tugas itu orang tersebut mengisi hari-harinya dengan berakulturasi pada kehidupan masyarakat seperti berkebun, bertani, berdagang dan sebagainya.
Jika ia tidak menunaikan tugas yang dibebankan oleh raja kepadanya maka sesungguhnya ia tidaklah melakukan apa-apa, tapi jika ia menunaikan tugas sang raja meskipun dalam mengisi tugas itu ia lakukan tidak bercampur dengan masyarakat seperti kasus diawal, maka ia sudah melakukan banyak hal .
Kurangnya begitulah, gambaran tujuan hidup seorang manusia di dunia. Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-ku" (Qs. Ad-Dzariyat: 56).
Pada perkembangannya, ibadah tidaklah sebatas kepada hal-hal yang bersifat ubudiyah seperti: Salat, zakat, umrah atau sejenisnya. Melainkan lebih dari itu, intisari daripada salat sendiri adalah bukan pada saat pelaksanaan salat itu akan tetapi setelah salat itu (Rumi: Fihi Ma Fihi).
Oleh sebabnya, dalam syariat kita mengenal hubungan antara Manusia dengan Allah (Hablum Minallah) dan ada hubungan Manusia dengan Manusia (Hablum Minanannas) serta hubungan Manusia dengan alam (Hablum Minal 'alam) seorang muslim yang baik haruslah menjaga hubungan yang baik dengan kesemuanya.
Seorang ahli salat tidak akan dianggap sebagai ahli salat jika dia tidak mengenal saudaranya, tidak mengetahui tetangganya. Atau seorang yang baik secara sosial, tapi tidak beribadah secara baik kepada Tuhannya, maka dia juga tidaklah baik. Atau ada seorang yang baik dari segi ibadah dan sosialnya tapi tidak menjaga alam ciptaannya maka sesungguhnya mereka pun termasuk orang-orang yang merugi.
Maka, ibadah itu pun harus didasari dengan ilmu. Dalam al-Majmu Al Fatawa Karya Imam Ibnu at-Taimiyah, 2:282 memaparkan, "Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa didasari oleh ilmu maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh" .
Jelas, orang yang tidak memiliki kepasitas keilmuan yang cukup kemudian ditanyai tentang keilmuan yang berkaitan dengan keagamaan, justru ia akan menjadi fitnah bagi Agama itu sendiri. Sekurangnya, mengutip pernyataan Ustaz Idham Badrussalam, Lc (Seorang ulama muda asal Cianjur) dalam salah satu ceramahnya beliau menerangkan, "Fitnah agama itu sekurangnya ada dua, pertama orang alim yang diam dengan kealimannya Ketika melihat kerusakan dan kedua adalah orang yang tidak tahu atau tidak berilmu memberi fatwa" .
Semoga Allah menghindarkan kita dari sifat-sifat tersebut.
Namun, jaman dewasa ini ilmu tentang Agama sudah sangat mudah untuk diperoleh dimana saja dan kapan saja. Seorang yang duduk dipinggir jalan, dengan gadget ditangannya sudah bisa mengakses dengan mudah artikel-artikel atau video-video ceramah. Kemudahan ini merupakan sebuah realitas jaman yang tidak bisa ditolak atau dicegah.
Namun, jaman dewasa ini ilmu tentang Agama sudah sangat mudah untuk diperoleh dimana saja dan kapan saja. Seorang yang duduk dipinggir jalan, dengan gadget ditangannya sudah bisa mengakses dengan mudah artikel-artikel atau video-video ceramah. Kemudahan ini merupakan sebuah realitas jaman yang tidak bisa ditolak atau dicegah.
Menerima dengan bijak merupakan pilihan terbaik. Meskipun, tidak semua yang ada di dunia internet adalah sesuatu yang dapat diterima oleh semua kalangan. Ada banyak pihak-pihak yang memanfaatkan kemudahan jaman ini untuk menyebarkan paham-pahamnya yang memang secara jumhur Manusia mengatakan paham itu adalah keluar dari ajaran kebaikan Islam. Salah satu contohnya adalah ajaran Radikalisme yang mengarah pada aksi terorisme.
Teori tentang Radikalisme
Radikalisme berasal dari kata radikal yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan secara mendasar (sampai pada hal-hal yang bersifat prinsipil); perubahan dunia atau amat keras memaksa perubahan (misalnya menuntut perubahan Undang-undang Negara).
Radikalisme berasal dari kata radikal yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan secara mendasar (sampai pada hal-hal yang bersifat prinsipil); perubahan dunia atau amat keras memaksa perubahan (misalnya menuntut perubahan Undang-undang Negara).
Sementara itu, radikalisme sendiri dimaknai sebagai isme atau pegangan yang radikal dalam politik atau suatu aliran maupun paham yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Namun, jika ditilik secara terminologis radikalisme berasal dari kata dasar radix yang artinya akar (pohon) makna kata akar (pohon) dapat diperluas kembali sehingga memiliki arti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketentraman, kemudian kata tersebut dapat dikembangkan kembali menjadi radikal yang berarti lebih adjektif (kata sifat).
Menurut Horace Mayer Kallen (seorang filsuf Amerika kelahiran Jerman yang mendukung Pluralisme dan Zionime: 1882-1974) memberikan definisi tersendiri berkenaan dengan radikalisme. Menurutnya, "Radikalisme memiliki kekayaan yang kuat akan kebenaran ideologi atau program yang mereka bawa.
Dalam Gerakan sosial, kaum radikalis memperjuagkan keyakinan yang mereka anut". Sedang, menurut Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tirmidzi Taher memberikan komentarnya tentang radikalisme bermakna positif yang memiliki makna tajdid (pembaharuan) dan islah (perbaikan), suatu spirit perubahan menuju kebaikan. Hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara para pemikir radikal sebagai pendukung reformasi jangka panjang (revolusioner?)
Menutur pada artikel dosenpendidikan.co.id munculnya radikalisme pertama kali disekitaran abad ke-19 dan terus berkembang sampai sekarang. Dalam kondisi masyarakat barat yang sekuler hal ini ditandai dengan keberhasilan industralisasi pada hal-hal positif di satu sisi lainnya negatif.
Belakangan, di Indonesia sendiri memang santer dalam pemberitaan mainstream atau pun dalam kanal-kanal media sosial tentang isu radikalisme. Yang hal ini merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat untuk menjawabnya.
Isu radikalisme ini sebenarnya sudah lama berseliweran dalam arus masyarakat dunia, terutama setelah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat dan sudah lama juga mencuat di permukaan diskusi dan wacana internasional. Dalam konteks Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas selalu dikaitkan dengan pelaku radikalisme yang selalu menjurus pada aksi terorisme namun mengaitkan radikalisme sebagai fenomena khas Islam adalah kurang tepat dan sangat bertentangan dengan ajaran dan prinsip Islam itu sendiri, yaitu Rahmatan lil alamin.
Lantas, apabila melihat definisi dan perkembangan radikalisme ini. Bagaimana Radikalisme dapat terjadi?
Radikalisme tidak muncul dalam ruang hampa. Ahmad Najib Burhani (Seorang peneliti di bidang Agama, Ilmu sosial dan budaya yang terkenal karena melakukan pembelaan terhadap kaum minoritas dan melakukan studi tentang Ahmadiyah yang ada di Indonesia) mengatakan bahwa dari segi teologis radikalisme terjadi akibat dari penafsiran teks-teks agama secara liberal tanpa melihat konteks historis dan sosiologis sehingga teks-teks tersebut sering kali diklaim untuk melegitimasi tindakan kekerasan.
Radikalisme tidak muncul dalam ruang hampa. Ahmad Najib Burhani (Seorang peneliti di bidang Agama, Ilmu sosial dan budaya yang terkenal karena melakukan pembelaan terhadap kaum minoritas dan melakukan studi tentang Ahmadiyah yang ada di Indonesia) mengatakan bahwa dari segi teologis radikalisme terjadi akibat dari penafsiran teks-teks agama secara liberal tanpa melihat konteks historis dan sosiologis sehingga teks-teks tersebut sering kali diklaim untuk melegitimasi tindakan kekerasan.
Namun, jika kita menilik pernyataan Peneliti dari Sinaksak Center, Dr. Salman Pasaribu di Jakarta pada Rabu (20/01/2016) radikalisme akan tumbuh subur di suatu negara karena tiga faktor pendukung yakni, kekuatan jaringan antara dalam dan luar negeri, budaya permisif (suka membolehkan atau suka mengizinkan) dari sebuah masyarakat serta lemahnya pencegahan atau penegakan hukum oleh pemerintah terhadap kelompok yang dapat dikategorikan teroris.
Lanjutnya, terorisme yang berbalut radikal tidak terlepas dari adanya polarisasi keberagaman yang menimbulkan sentimen berwujud anti budaya dan tafsir sempit atas doktrin ideologi maupun teologi.
Pada masa awal kemerdekaan sendiri, sebut saja dulu ada yang namanya Daarul Islam (DI/TII) yang gencar menggeser konsitutsi dan ideologi Pancasila untuk membangun negara Islam pada masa awal kemerdekaan . Dan sisa-sisa pemahaman atau organisasi-organisasi serupa pada perkembangannya ternyata tidak benar-benar pupus dan hilang.
Pada masa awal kemerdekaan sendiri, sebut saja dulu ada yang namanya Daarul Islam (DI/TII) yang gencar menggeser konsitutsi dan ideologi Pancasila untuk membangun negara Islam pada masa awal kemerdekaan . Dan sisa-sisa pemahaman atau organisasi-organisasi serupa pada perkembangannya ternyata tidak benar-benar pupus dan hilang.
Menutur pada penjelasan As'ad Said Ali (2012) dalam Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi menyatakan bahwa berbagai organisasi/Gerakan Islam non-mainstream berpaham radikal terus menjamur pasca runtuhnya Orde baru, dalam hal ini dapat disebut contohnya seperti Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiyah atau bahkan Jamaah Ansharut Daulah. Pola-pola pergerakan mereka juga beragam, mulai dari Gerakan moral ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir serta yang mengarah kepada gaya kemiliteran seperti Laskar Jihad dan Front Pemuda Islam Surakarta.
Ciri-ciri mereka sendiri sangatlah mudah untuk dikenali. Hal tersebut karena mereka memang pada umumnya ingin dikenali dan terkenal dengan tujuan agar mendapat simpati dan dukungan orang banyak.
Radikalisme adalah tanggapan pada kondisi yang sedang terjadi. Tanggapan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk evaluasi, penolakan bahkan perlawanan dengan keras, melakukan upaya secara terus menerus untuk menuntut dan melakukan perubahan drastis yang diinginkan, orang-orang yang menganut paham radikalisme biasanya memiliki keyakinan yang kuat terhadap program yang akan mereka jalankan, penganut ini juga tidak segan-segan melakukan cara kekerasan dalam mewujudkan tujuannya serta memiliki anggapan bahwa siapa saja yang berbeda pandangan dengan mereka adalah salah dan bahkan ada yang sampai dikafirkan.
Meskipun, secara keyakinan mereka adalah sama-sama satu Agama.
Faktor yang kemudian membuat Radikalisme ini bisa hadir dan berkembang adalah karena beberapa sebab, diantaranya:
Faktor yang kemudian membuat Radikalisme ini bisa hadir dan berkembang adalah karena beberapa sebab, diantaranya:
- Faktor Pemikiran
Kurangnya pemahaman agama namun dilatar belakangi dengan semangat keagaamaan yang tinggi membuat orang akhirnya mudah dimasuki pemikiran-pemikiran yang salah. Sehingga kemudian beranggapan bahwa segala sesuatunya harus dikembalikan ke agama walaupun dengan cara yang kaku dan menggunakan kekerasan - Faktor Ekonomi
Masalah ekonomi juga berperan membuat paham radikalisme muncul di berbagai negara. Sudah menjadi kodrat manusia untuk bertahan hidup dan ketika terdesak karena masalah ekonomi maka manusia dapat melakukan apapun termasuk menjadi bagian dari kelompok ekstrem - Faktor Sosial
Masih erat hubungannya dengan ekonomi Sebagian masyarakat kelas ekonomi lemah umumnya berpikiran sempit sehingga mudah percaya pada tokoh-tokoh radikal karena dianggap membawa perubahan - Faktor Psikologis
Peristiwa pahit dalam hidup seseorang juga dapat menjadi faktor penyebab radikalisme. Masalah keluarga, rasa benci dan dendam atau bahkan masalah percintaan semua ini berpotensi menjadikan seseorang menjadi radikalis'
Si Puan dan Yang Muda, Yang Kena!
Prof Musda Mulia dalam artikelnya Perempuan dalam Gerakan Terorisme menjelaskan bahwa dalam Tindakan terorisme di Indonesia terus mengalami perkembangan dalam hal pelakunya. Aksi teror bom bunuh diri banyak melibatkan perempuan.
Kasus terakhir yang hangat dibicarakan adalah tentang seorang perempuan yang melakukan aksi teror di markas besar kepolisian Republik Indonesia.
Alasan pelibatan perempuan dalam Gerakan terorisme ini sangatlah beragam, hal ini menurut hemat penulis adalah karena perempuan merupakan garda terdepan dalam Pendidikan keluarga, ia berperan sebagai educator (pendidik) bagi anak-anaknya yang kemudian akan menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya tersebut, Islam mengenal istilah ini dengan mengatakan bahwa Umi (Ibu) adalah madrasah pertama seorang anak, oleh sebabnya jika dari sumber mata air itu sudah keruh, keruhlah sungai-sungai yang dialirinya. Pun, bagi pergerakan organisasi sendiri perempuan dapat dijadikan sebagai seorang pengumpul dana, penyedia logistik dan yang parah sampai menjadi pelaku aksi.
Tidak hanya itu, kelompok muda pun rentan dijadikan target radikalisme yang kemudian berbuah menjadi terorisme. Perekrutan kelompok radikal usia muda yang identik dengan pencarian jati diri dan ketidakstabilan emosi kerap dimanfaatkan untuk menginfiltrasi ideologi radikal kepada kaum muda. Iming-iming kehidupan yang mulia dan mati syahid menjadi daya tarik tersendiri yang kemudian mengarahkan seorang muda kepada radikalisme dan terorisme.
Radikalisme dalam kacamata Politik
Rocky Gerung, dalam beberapa kesempatan menganalisa tentang isu Radikalisme menurutnya, pemerintah Indonesia gagap dan gugup dalam merumuskan apa problem bangsa Indonesia ini? Sebab, jika ada seorang yang melakukan aksi atau berteriak tentang susunan baru sistem di Tanah air itu merupakan individual. Yang menjadi bahaya, adalah Kktika hal tersebut di organisir.
Dalam podcast-nya Deddy Courbuzier, peneliti Demokrasi ini memaparkan kembali jika isu radikalisme yang berkembang di Indonesia adalah sebab kegagalan pemerintah dalam hal ekonomi. Untuk menutupi kegagalan tersebut maka pemerintah melakukan pengalihan isu dengan radikalisme agar masyarakat teralihkan perhatiannya kepada hal-hal yang tidak kontekstual dalam pengawalan dan pengawasan terhadap pemerintah.
"Ada sekitar 30 Negara di dunia ini yang mengalami krisis sosial, Erofa, spanyol, inggris, hongkong, amerika latin segala macem itu tidak mengalami radikalisme tapi mengalami krisis daya beli itu, jadi kita lihat dunia ini mengalami permasalahan justice bukan radikalisme. Jadi pemerintah (Indonesia) sebenarnya gugup dan gagap dalam merumuskan permasalahan bangsa" terangnya.
Akibat dari isu-isu yang dihembuskan oleh "kelompok kepentingan" itu dan dikembangkan media belakangan, membuat radikalisme ini menjadi sebuah ketakutan dan kecemasan, Rocky menganggap bahwa ada yang sengaja menggulirkan isu ini untuk mencegah politik Islam, "Kata itu sekarang menakutkan, karena diajukan untuk menghalangi pikiran, komunikasi lain, di dalam Bahasa yang lebih telanjang, hal itu diarahkan untuk Politik Islam" tuturnya.
Ia juga menyayangkan pada sikap yang diambil oleh pemerintah, yang selalu menggencar isu radikalisme tapi kemudian tidak menjelaskan siapa pelaku radikalisme, "Saya menganggap bahwa siapa yang dituduh kaum radikal itu? Nggak bisa diucapkan, tunjukan mana yang radikal, itu rahasia intelejen, nah kalau rahasia intelejen lakukan deradikalisasi dengan cara intelejen" tambahnya.
Meski radix berarti bahwa tanah, namun secara etimologi radikalisme merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya. "Jadi kita masuk pada kekacauan itu, padahal kata radikal kembali lagi pada etimologinya, upaya kuat sekuat tenaga untuk mencari persoalan sampai ke akar-akarnya" ungkap laki-laki yang kadang di sapa Roger itu.
Apabila kita menilik pernyataan sikap Pengamat politik itu diberbagai kesempatan di televisi maupun melalui Media YouTube. Rocky Gerung ini merupakan kelompok penekan (pressure group) yaitu kelompok yang bertujuan mengupayakan atau memperjuangkan keputusan politik yang berupa kebijakan. Kelompok ini biasanya tampil ke depan dengan berbagai cara untuk menciptakan pendapat umum, cara-caranya bisa melakukan kontroversi yang kemudian menjadi diskusi publik atau hal-hal serupa.
Sedang, pengamatan yang Rocky sebutkan kepada pemerintah adalah sebuah analisis politik, yaitu tentang pengalihan isu untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam masalah ekonomi. Dalam konteks ke Indonesia-an jaman dewasa ini memang dapat kita lihat, kita selalu terfokus pada hal-hal remeh temeh, Anies Matta pernah mengatakan bahwa kita jangan menghabiskan energi untuk masalah-masalah kecil. Karena bangsa yang besar dimulai dari fokus pikirannya.
Namun, apakah memang benar Isu Radikalisme itu hanya untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam bidang ekonomi saja? Kita lihat fakta yang terjadi selama kepemimpinan Jokowi!
Beberapa fakta yang penulis temukan dalam artikel di kontan.co.id mengungkapkan bahwa pada jilid pertama pemerintahan Jokowi ditutup dengan situasi ekonomi yang matang.
Mentri Koordinator Bidang Perekenomian masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Darmin Nasution menyatakan bahwa capaian yang ditorehkan pemerintah di bidang perekonomian selama periode pertama sudah baik. Menurutnya, setidaknya ada empat indikator makro-ekonomi yang menjadi prestasi periode pertama:
- Pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu terjaga stabil di atas 5% ditengah gejolak dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global selama dua tahun terakhir
- Darmin juga mengingatkan prestasi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga barang-barang selama lima tahun terakhir itu mengapa, tingkat inflaso selalu dapat bergerak dalam rentang yang ditargetkan pemerintah maupun Bank Indonesia (BI).
- Dengan level pertumbuhan ekonomi yang ada, pemerintah mampu membawa angka kemiskinan turun ke level terendahnya sepanjang sejarah, data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) pada maret 2019 mencatat, tingkat kemiskinan berada pada level Single-digit yaitu, 9,41% dengan jumlah orang miskin turun menjadi 25,14 Juta.
- Darmin mengatakan pemerintah juga mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi inklusif. Ini terlihat dari angka rasio gini yang makin kecil yaitu pada level 0,382 pada maret 2019
- Pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan padahal target awal yang diharapkan dan dijanjikan berada pada angka 7-8%.
- Tingkat kemiskinan ditargetkan menurun ke angka 7-8% pada akhir 2019, nyatanya per maret 2019 masih berada pada angka 9.4%.
- Tingkat ketimpangan atau gini ratio pemerintah awalnya memperkirakan mampu mencapai angka 0,36% pada akhir tahun 2019. Namun, per maret 2019 baru mencapai 0.382%.
- Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Awalnya menargetkan bisa mencapai 76,3 poin pada 2019 namun baru mencapai angka 71,3 poin di akhir 2018
Dengan melihat realitas dan data yang dipaparkan, apabila melihat dalam konteks yang berbeda memang kita tidak bisa membenarkan secara sepenuhnya dan tidak bisa juga menolak seluruh argumentasi dalam sudut pandang Pengamat politik, Rocky gerung.
Yang menjadi fokus persoalannya sebenarnya bukan pada apakah isu radikalisme adalah alat politik penguasa saja untuk menutupi kegagalannya. Tapi, fokusnya justru ada pemahaman keagamaan. Di lapangan sendiri, pada tahun 2021 semester II ini sekurangnya ada 216 orang ditangkap terkait Terorisme. Radikalisme yang merujuk pada terorisme sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegera kita, pemahaman agama yang sempit dan terbatas namun dibarengi dengan keinginan untuk beribadah, rasa-rasanya menjadi bahaya dan ngeri.
Arus informasi yang kuat, pertukaran paham dan ideologi atau keyakinan begitu masif di media sosial, jika tidak dibarengi dengan ke-krititisan dalam berpikir dan menyaring informasi maka akan menjadi benalu bagi diri sendiri di masa depan, maka apabila kita bisa untuk berpikir kritis dalam menyaring informasi, terealisasilah Al-Baqarah ayat 219 itu, "Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu agar kamu memikirkannya". Dan kita menjadi seorang manusia yang berilmu dan diangkat drajatnya oleh Allah SWT sebagaimana janjinya dalam Al-Qur'an Surat Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya:
"Allah akan meninggikan orang-orang beriman dari kamu sekalian dan orang-orang berilmu beberapa drajat"
Dan ciri seorang yang berilmu adalah bertoleransi, salah satu penyebab adanya terorisme dan radikalisme adalah menganggap dirinya benar sendiri dan menyalahkan orang lain, Jusuf Kalla mantan wakil Presiden Indonesia pernah menerangkan bahwasannya benar sendiri tidaklah salah, karena jika kita tidak menganggap diri kita benar, kenapa kita masih bertahan dengan prinsip-prinsip kita? Tapi, yang menjadi persoalan adalah ketika kita menganggap diri kita benar kemudian menyalahkan orang lain. Begitu juga dalam beragama, meskipun Allah SWT mengatakan, "Agama yang paling diridlai Allah adalah Islam" (Qs. Ali Imran: 19) dan juga berfirman, "Barangsiapa mencari selain agama Islam untuk ia peluk, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi" (Qs. Ali Imran: 85) namun Allah sendiri memerintah hambanya agar bertoleransi sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Kafirun yang artinya sebagai berikut:
"Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku" (Qs. Al-Kafirun: 4-6)
Dengan saling bertoleransi dan memahami serta menjalankan agama dalam keberagaman akan menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegera yang harmonis. Terlebih, UUD NRI Tahun 1945 pada pasal 29 ayat 1-2 menerangkan, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha esa (1) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (2)" artinya Negara sendiri menjamin keselamatan dan agamanya masing-masing. Akan terciptanya hubungan harmonis, jika kemudian Mayoritas melindungi yang minoritas dan yang minoritas menghormati yang mayoritas.
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda, "Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda (kecil) dan tidak menghormati yang lebih tua (besar)" (HR. at-Tirmidzi no. 1842 daari Sahabat Anas bin Malik).
Mari kita lawan radikalisme ini dengan semangat persatuan, pemerintah melalui Kementrian Agama sudah melakukan pemantauan secara ketat terhadap dunia Pendidikan termasuk pihak-pihak sekolah yang berpotensi menyebarkan paham yang bertentangan dengan ideologi Negara.
Karena radikalisme beroperasi dalam tataran ideologis, penguatan ideologi Pancasila dan pengetahuan sejarah kebangsaan yang multicultural harus gencar disuarakan di masyarakat, khsusunya kepada angkatan penerus bangsa.
Penghapusan stigma dan perangkulan kepada mereka yang telah terpapar sangat diperlukan. Pendekatan humanis yang merangkul sabagi saudara dan peranserta dari kedua organisasi besar Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sangat diperlukan dan harus gencar dalam kampanye ajaran Islam rahmatan lil alamin, serta kepada seluruh organisasi keagamaan juga harus ikut andil dalam pencegahan radikalisme karena pada nyatanya, radikalisme tidak terbatas oleh kepercayaan dan aliran ia bisa menjangkiti siapapun dan kapanpun. Dan pemerintah sendiri, harus secara tegas melakukan penerapan hukum kepada organisasi atau orang yang melakukan aksi teror dan bertentangan dengan konsensus kita sebagai bangsa.
Kita sebenarnya mempunya falsafah hidup sebagai bangsa yang merdeka dan beragam, yaitu Pancasila. Lima sila yang kemudian menjadi dasar, dengan meyakini akan keberadaan Tuhan yang mahaesa dengan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab guna memperjuangkan persatuan demi terlaksananya musyawarah yang mengarah pada mufakat demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan inilah, kita bisa bersatu sebagai satu nesia.
REFERENSI:
- Al Fatawa
- Arbain Nawawi
- http://muhammadahsanthamrin.blogspot.com/2018/08/bagaimana-berpikir-kritis.html?m=1#:~:text=Alquran%20memerintahkan%20manusia%20untuk%20berpikir,.%20Al%20Baqarah%20ayat%20219
- https://bkpsdmd.babelprov.go.id/content/gerakan-radikalisme-tumbuh-subur-tanpa-henti-di-indonesia
- https://investor.id/archive/ada-3-faktor-munculnya-radikalisme
- https://manado.tribunnews.com/amp/2019/11/03/rocky-gerung-kata-radikalisme-jadi-menakutkan-karena-diajukan-untuk-menghalangi-pikiran?page=3
- https://nasional.kompas.com/read/2021/04/03/18070321/radikalisme-bom-waktu-yang-mengancam-masa-depan-bangsa?page=all&jxconn=1*migo2c*other_jxampid*T3Qta0hTblE2Mk9LYk1sWVR2NjB3TUhsczFtZVdBQnN2LVIxUXgyTkRzZTh6WXplMWdsUnR5d3BWWThiR042Nw..#page2
- https://repo.iainbatusangkar.ac.id/xmlui/handle/123456789/17795#:~:text=Dari%20segi%20ini%2C%20prinsip%20dasar,seimbang%20dan%20netral%2C%20serta%20toleran
- https://www.google.com/amp/s/manado.tribunnews.com/amp/2019/11/03/rocky-gerung-kata-radikalisme-jadi-menakutkan-karena-diajukan-untuk-menghalangi-pikiran
- https://www.google.com/search?q=Evaluasi+ekonomi+jokowi+periode+1&oq=Evaluasi+ekonomi+jokowi+periode+1&aqs=chrome..69i57.6956j0j4&client=ms-android-samsung-gj-rev1&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8
- https://www.google.com/search?q=radikalisme+menurut+kbbi&oq=Radikalisme+m&aqs=chrome.1.69i57j0i512l4.7347j0j9&client=ms-android-samsung-gj-rev1&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8
- https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://m.mediaindonesia.com/amp/amp_detail/407707-bnpt-216-orang-ditangkap-terkait-terorisme-sejak-awal-2021&ved=2ahUKEwj9sJ6SiufzAhV-7XMBHb3SB4oQFnoECAcQAQ&usg=AOvVaw3jqNZ1FMUHdwsRZj_E_80y&cf=1
- https://youtu.be/gO4fu3f6Emc
- https://youtu.be/KNFwLc7WZg
- https://youtu.be/sdT-C_S_t3s
- Rumi. Jalaludin. 2019. Fihi Ma Fihi. Group RELASI INTI MEDIA. Yogyakarta