Oleh: Ari RiandriMahasiswa S1 Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Ari Riandri |
Perempuan itu seharusnya pandai dalam mengurus sumur, dapur, kasur.
Restorasi.id - Pernahkah kita mendengar ungkapan seperti itu dari sebagian kalangan masyarakat?Pemikiran seperti itu tidak bisa dinafikkan oleh kita semua, bahwa masyarakat yang pada umumnya berpikiran sekonservatif itu. Timbulnya paradigma ini dikarenakan normalisasi terhadap ketimpangan gender serta budaya patriarki.
Berbicara mengenai budaya patriarki, secara umum patriarki diartikan sebagai “kekuasaan laki-laki” khususnya pada relasi laki-laki dan perempuan yang didominasi oleh laki-laki. Dalam artian yang lebih luas patriarki merupakan manifestasi dari dominasi laki-laki atas perempuan di masyarakat. Secara etimologi budaya patriaki memposisikan laki-laki lebih superior daripada perempuan, artinya perempuan dilegitimasi sebagai objek sehingga mereka bebas diekploitasi.
Baca juga:SMC dan DPR RI Sosialisasi OJK Terkait Peminjaman Online di Kabupaten Karawang
Dalam budaya patriarki perempuan rentan mendapatkan kesetaraan gender, dimana perempuan termajinalisasi, tersubordinasi bahkan sering mendapatkan kekerasan. Ideologi patriarki melahirkan stratifikasi gender, yaitu ketimpangan dalam pembagian kekayaan. Kekuasaan, dan privilese antara laki-laki dan perempuan. Adanya stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan sosial di kalangan perempuan, yang berorientasi membela emansipasi perempuan. Gerakan ini dinamakan feminisme. Feminisme awal bermula di Negara Francis pada abad ke-18 dan kemudian berekspansi ke negara-negara lain dibenua Eropa, Asia, Amerika dan Afrika.
Melihat secara historigrafisnya budaya patriarki pada zaman sejarah laki-laki pada umumnya berburu dan perempuan mengurusi urusan domestik seperti, memasak, mengurus anak, hingga melayani suami. Hal seperti dinormalisasi oleh sebagian masyarakat sampai sekarang, bahkan banyaknya glorifikasi dari kalangan para tokoh, ilmuwan, bahkan penceramah yang mengajarkan inferiotas perempuan. Betty Friedan dalam pemikirannya hal seperti ini dinamakan dengan “Sex Directed Educators”.
Mereka melihat perempuan sebagai objek seks, tidak membuka wawasan perempuan hanya menarasikan perempuan harus pandai dibidang domestik, yang seharusnya perempuan diajarkan kritis terhadap prasangka-prasangka popular yang keliru tentang perempuan. Secara tidak langsung posisi perempuan semakin inferior (di bawah laki-laki).
Baca juga:Tentang Demonstrasi Mahasiswa Akhir-Akhir Ini
Dalam struktur hegemoni domestik terhadap perempuan, perempuan menjadikan rumah sebagai konsentrasi pernjara yang nyaman, dalam artian perempuan hanya melakukan kegiatan yang melelahkan. Karena ketidaksadaran perempuan ini mereka menjadi nyaman terhadap urusan domestik. Cara berpikir ini mengakibatkan perempuan melupakan dirinya sebagai manusia seharusnya membutuhkan aktualisasi diri, hal semacam ini mengakibatkan Progressive Dehumanization And Passive Non identity (dehumanisasi progresif dan non identitas pasif).
Pelan-pelan posisi perempuan tidak seperti manusia lagi bahkan dianggap sebagai objek, diposisikan sebagai level pasif dan non identitas, jadi dirinya tidak penting, yang terpenting fungsi pasifnya. Kultur seperti ini yang melahirkan bahwasannya perempuan itu harus feminin tidak boleh maskulin, artinya perempuan harus berbicara lembut, dilarang berkata jorok, kotor.
Dari dehumanisasi perempuan kemudian timbulnya pengorbanan diri, tidak memiliki kejelasan arah, tujuan atau ambisi guna mempersiapkan hari esok. Perempuan dibunuh kemanusiannya oleh dirinya sendiri.
Hegemoni domestik pada perempuan melahirkan Problem That Has No Name ketidakbahagian perempuan itu sendiri. Friedan dalam penelitiannya, ketidakpuasaam yang dialami para ibu rumah tangga dari kalangan medioker ke atas yang tinggal di daerah pinggiran (suburban) bahwasannya perempuan selalu orientasinya pada domestik.
Baca juga:Keadilan Gender dalam Islam
Perempuan modern secara umum mencita-citakan 3 hal yaitu, hearth, home, dan husband. Heart itu berorientasi pada mengejar cinta, sentimen, kenyamanan. Home itu rumah kemapanan, dan husband suami kaya, sholeh yang mencukupkan perempuan sebagai sandaran. Friedan menyebutnya sebagai Happy Housewifes Heroine. Perempuan melenyapkan hasrat untuk mandiri dan mencurahkan segala perhatiannya untuk urusan domestik belaka.
Perempuan seharusnya lebih mengeksplor diri dan berwawasan serta berani melawan kontruksi sosial dan budaya, jadilah perempuan yang melawan. Agar terlepas dari penjara domestik serta menciptakan perempuan yang progresif terhadap diri. Betty Friedan menegaskan tidak ada salahnya jika perempuan pintar dalam urusan domestik, asalkan jangan sampai mengikis progresifitas perempuan itu sendiri.