Oleh: Isma Maulana Ihsan (Mas Chan)Mahasiswa S1 Ilmu PolitikUniversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Restorasi.id-Di tengah 'riweh'-nya peperangan antara Rusia dan Ukraina, kemunafikan internasional karena standar ganda yang digunakan oleh PBB, FIFA bahkan sampai UEFA terhadap Rusia dan Israel sehingga memantik kemarahan masyarakat dunia yang berpikir, "Kok iso Rusia kena sanksi begitu berat? Sedangkan Israel yang jelas-jelas melanggar Hak Asasi Manusia orang-orang Palestina puluhan tahun dibiarkan begitu saja?". Bangsa kita, yang Insha Allah bangsa yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur, sedang menyelesaikan permasalahan yang lebih besar dibanding permasalahan-permasalahan yang disebutkan di awal; dimulai dari permasalahan Toa masjid sampai pada isu penundaan pemilu 2024!.
Perlu dicermati kembali, bahwasannya isu terhadap "jabatan eksekutif" begitu hangat beberapa tahun terakhir, dimulai dari isu amandemen UUD yang jelas-jelas dituduh Cuma akal-akalan kelompok oligarki untuk melanggengkan kekuasaan yang juga mendapat penolakan keras dari banyak lapisan masyarakat sampai pada isu terkini, penundaan pemilu.
Pada masa pandemi covid-19 sampai tanggal 21 Februari, seperti yang penulis kutip dalam laman artikel Kompas.com setidaknya ada 80 Negara dan teritori yang menunda pemilu meski pada kurun waktu yang sama ada banyak lagi. Alasan penundaan tersebut pada jelasnya hampir sama, karena kasus penyebaran covid yang begitu masif dan untuk memutus mata rantai penyebaran serta pemulihan ekonomi. Memang, tidak bisa dimungkiri beban ekonomi yang dihasilkan akibat pandemi dua tahun terakhir ini begitu memukul perekonomian dunia, tak terkecuali negara Indonesia. negara yang mendapat rahmat dari Tuhan ini, yang beberapa ketua umum partai politiknya mengusulkan agar pemilu ditunda selama beberapa tahun ke depan.
Tentunya, kita harus mengapresiasi para ketua umum yang elektabilitas-nya di banyak Lembaga survei begitu sedikit bahkan tidak mencapai diatas 5% itu, mereka-mereka ini peduli terhadap kelangsungan kehidupan bangsa, saking pedulinya apa saja mau dilakukan, agar oligarki eh maaf, agar ekonomi Indonesia tumbuh subur, meroket!. Bahkan, wacana Presiden 3 periode juga mau di gabres-oleh kelompok-kelompok lain- atau penambahan masa jabatan eksekutif mau ditambah! Karena dengan begitu secara otomatis, jabatan legislatif dan yang lainnya pun ikut bertambah. Super sekali! Kita harus mendukungnya, meski secara demokrasi ya tentu itu merusak dan amoral sekali. Tapi, sekali lagi; ini demi kepentingan bangsa dan negara! Siapa saja yang mengkritik, siapa saja yang tidak suka silahkan disampaikan aspirasinya. Mentok-mentok kalau aspirasi tidak ditanggapi ya paling tidak diserang buzzer dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar.
Beberapa negara dan teritori yang melakukan penangguhan pemilu memiliki alasan yang dinilai cukup obyektif dan murni semata-mata dalam usaha menyelamatkan bangsanya. Karena, pada dasarnya pemilu sendiri memiliki nilai paradoks, dalam satu sisi pemilu diharuskan dan diperlukan dalam sebuah negara yang katanya demokrasi. Namun, di satu sisi yang lain pemilu juga mengandung kemungkinan yang tidak pasti yang pada gilirannya bahkan dapat membahayakan bangsa dan negara. Istilah untuk menyebutkan hal ini diberi nama oleh James dan Alihodzic dengan sebutan postponement paradox.
Dalam terma penundaan pemilu, ada dua kata yang sebenarnya serupa namun tak sama. Hampir mendekati sama, tapi maknanya jauh amat berbeda. Yaitu, penundaan dan pembatalan. Yang pada hakikatnya sama-sama membatalkan pemilu dari waktu yang seharusnya.
Secara prosedural memang perubahan bisa saja ada pasal yang dibuat untuk melegitimasi usulan pembatalan pemilu 2024. Tapi, secara substantial perubahan konstitusi yang menjadi alasan pembenar pelanggaran konstitusi untuk membatalkan pemilu nyata-nyatanya bertentangan dengan prinsip dasar konstitusionalisme yaitu pembatasan kekuasaan (Denny Indrayana). Selain pengamandemenan UUD untuk membatalkan pemilu sarat akan benturan kepentingan, tidak ada jaminan yang dapat dijadikan pegangan kuat bahwasannya amandemen terhadap UUD tidak merembet kepada hal-hal yang keluar konteks pembahasan ini. Oleh karena itu, argumentasi dan usulan beberapa parpol politik yang bahkan oleh Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan menghadapi isu presiden tiga periode sebagai bentuk, "Cari muka, padahal saya sendiri punya muka". Murni untuk ditolak!. Karena mengubah UUD 1945 untuk melegitimasi hal-hal seperti yang dimaksudkan diatas adalah nyata-nyatanya bertentangan dengan konstitusi serta bukanlah Langkah perubahan konstitusi yang konstitusional.
Harusnya, sebagai wakil rakyat, mereka berada dalam arus masyarakat. Bukan melawan arus masyarakat. Usulan pembatalan pemilu 2024 dengan perubahan UUD 1945 sekalipun harus ditolak dengan tegas dan keras.
Dan terakhir, sekadar pesan kepada para ketua partai atau siapapun yang hendak merubah UUD demi kepentingan tersebut atau berniat menunda pemilu, mbok ya daripada ditunda lebih baik dimajukan jadi tahun depan saja, bagaimana?
Perlu dicermati kembali, bahwasannya isu terhadap "jabatan eksekutif" begitu hangat beberapa tahun terakhir, dimulai dari isu amandemen UUD yang jelas-jelas dituduh Cuma akal-akalan kelompok oligarki untuk melanggengkan kekuasaan yang juga mendapat penolakan keras dari banyak lapisan masyarakat sampai pada isu terkini, penundaan pemilu.
Pada masa pandemi covid-19 sampai tanggal 21 Februari, seperti yang penulis kutip dalam laman artikel Kompas.com setidaknya ada 80 Negara dan teritori yang menunda pemilu meski pada kurun waktu yang sama ada banyak lagi. Alasan penundaan tersebut pada jelasnya hampir sama, karena kasus penyebaran covid yang begitu masif dan untuk memutus mata rantai penyebaran serta pemulihan ekonomi. Memang, tidak bisa dimungkiri beban ekonomi yang dihasilkan akibat pandemi dua tahun terakhir ini begitu memukul perekonomian dunia, tak terkecuali negara Indonesia. negara yang mendapat rahmat dari Tuhan ini, yang beberapa ketua umum partai politiknya mengusulkan agar pemilu ditunda selama beberapa tahun ke depan.
Tentunya, kita harus mengapresiasi para ketua umum yang elektabilitas-nya di banyak Lembaga survei begitu sedikit bahkan tidak mencapai diatas 5% itu, mereka-mereka ini peduli terhadap kelangsungan kehidupan bangsa, saking pedulinya apa saja mau dilakukan, agar oligarki eh maaf, agar ekonomi Indonesia tumbuh subur, meroket!. Bahkan, wacana Presiden 3 periode juga mau di gabres-oleh kelompok-kelompok lain- atau penambahan masa jabatan eksekutif mau ditambah! Karena dengan begitu secara otomatis, jabatan legislatif dan yang lainnya pun ikut bertambah. Super sekali! Kita harus mendukungnya, meski secara demokrasi ya tentu itu merusak dan amoral sekali. Tapi, sekali lagi; ini demi kepentingan bangsa dan negara! Siapa saja yang mengkritik, siapa saja yang tidak suka silahkan disampaikan aspirasinya. Mentok-mentok kalau aspirasi tidak ditanggapi ya paling tidak diserang buzzer dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar.
Dalam terma penundaan pemilu, ada dua kata yang sebenarnya serupa namun tak sama. Hampir mendekati sama, tapi maknanya jauh amat berbeda. Yaitu, penundaan dan pembatalan. Yang pada hakikatnya sama-sama membatalkan pemilu dari waktu yang seharusnya.
Penundaan lebih didorong faktor eksternal, termasuk bencana alam seperti misalnya yang digambarkan Tere liye dalam novel Hujan atau seperti di dunia nyata sekarang, korona. Adapun, pembatalan didorong oleh nafsu kekuasaan untuk secara sadar merampas kekuasaan negara, tanpa melalui kontestasi pemilu dan dapat menimbulkan otoritarianisme apabila rakyat; dapat dialihkan dengan isu-isu remeh temeh seperti penggunaan toa masjid dan sejenisnya. Dalam UU pemilu kita, untuk mengukur alasan penundaan biasanya lebih jelas meski terkesan dipaksakan dan seolah-olah so' Hero demi kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan, alasan untuk pembatalan sulit dan sukar untuk diukur, karena memang pada dasarnya pembatalan pemilu hanya untuk pelanggengan atau perampasan kekuasaan. Kalau pun dinyatakan maka itu bukan alasan sebenarnya karena selain biasanya pembatalan digunakan untuk pelanggengan kekuasaan pun untuk melemahkan partai oposisi, mengulur waktu di tengah adanya isu negatif atas petahana yang sedang viral atau elektabilitas calon partainya dirasa tidak bakalan mampu bersaing untuk kontestasi pemilu yang akan datang. Makanya, daripada kalah lebih baik dibatalkan saja atau Bahasa halusnya di tunda saja dulu.
Mencermati usulan dari beberapa ketum parpol agar pemilu ditunda dari tahun yang seharusnya (2024) bagi saya sendiri merupakan sesuatu yang lucu dan tidak bermoral. Karena, tentu ini lebih menguntungkan petahana karena masa jabatan presiden-wakil presiden, parlemen dan kepala daerah diinginkan otomatis diperpanjang. Bahasa yang digunakan pada akhirnya bukan penundaan tapi pembatalan!. Yang tentunya hal ini melanggar prinsip negara hukum dan pemilu rutin dilaksanakan lima tahunan (Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 22E ayat 1 UUD NRI 1945). Kalau pun tokh nanti ada dilakukan perubahan UUD 1945, justru semakin mencederai Demokrasi yang sejatinya menurut teori adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demi melancarkan "proyek"-nya masa sih, perlu sampai repot-repot diubah UUD agar pemilu atau para pemangku jabatan ditambah masa jabatannya? Bukannya selama ini banyak yang teriak beberapa golongan mau merubah UUD? Tapi kok yang ada dalam kekuasaan sendiri yang mau merubahnya?
Secara prosedural memang perubahan bisa saja ada pasal yang dibuat untuk melegitimasi usulan pembatalan pemilu 2024. Tapi, secara substantial perubahan konstitusi yang menjadi alasan pembenar pelanggaran konstitusi untuk membatalkan pemilu nyata-nyatanya bertentangan dengan prinsip dasar konstitusionalisme yaitu pembatasan kekuasaan (Denny Indrayana). Selain pengamandemenan UUD untuk membatalkan pemilu sarat akan benturan kepentingan, tidak ada jaminan yang dapat dijadikan pegangan kuat bahwasannya amandemen terhadap UUD tidak merembet kepada hal-hal yang keluar konteks pembahasan ini. Oleh karena itu, argumentasi dan usulan beberapa parpol politik yang bahkan oleh Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan menghadapi isu presiden tiga periode sebagai bentuk, "Cari muka, padahal saya sendiri punya muka". Murni untuk ditolak!. Karena mengubah UUD 1945 untuk melegitimasi hal-hal seperti yang dimaksudkan diatas adalah nyata-nyatanya bertentangan dengan konstitusi serta bukanlah Langkah perubahan konstitusi yang konstitusional.
Baca juga:Diskriminasi Pelayanan Publik Terhadap Bantuan Sosial PPKM “Sapa Warga” dan BPJS Kesehatan
Dan terakhir, sekadar pesan kepada para ketua partai atau siapapun yang hendak merubah UUD demi kepentingan tersebut atau berniat menunda pemilu, mbok ya daripada ditunda lebih baik dimajukan jadi tahun depan saja, bagaimana?