Oleh: Ismail Maulana Ihsan (Mas Chan)
Mahasiswa S1 Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Illustrasi: Fiverr |
Restorasi.id - Beberapa waktu lalu ada seseorang bertanya, "Banyak kader korupsi di suatu partai x, tapi anehnya partai itu tetap dapat suara terbanyak bahkan di dua pemilu terakhir.
Kira-kira kenapa? Apakah partai itu gagal mendidik kadernya?"
Jika kita menilik lebih jauh dalam arus sejarah. Sebenarnya di Indonesia ini, gak aneh-aneh banget kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Dulu, tahun 1948 misalnya- Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan di Madiun dipimpin oleh Muso dan kronconya. Anehnya, pada kontelasi pemilu 1955 PKI malah dapat peringkat ke 4 sebagai pemenang pemilu. Kan lucu?
Tujuh tahun sebelumnya memberontak, mengancam kedaulatan ditengah agresi dan ancaman penjajahan kembali oleh Belanda yang dibantu sekutu. Eeh, ada partai politik yang mau bikin Negara ditengah berjuangnya orang-orang yang ingin mempertahankan kemerdekaan?
Dewasa ini pun, pemberontakan kepada bangsa dalam jenis lain alias perilaku korupsi yang dapat kita maknai sebagai perilaku untuk mengambil keuntungan dari wewenangnya sebagai pemangku kebijakan atau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai Korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang dengan cakupan bukan hanya uang Negara tapi pada sesuatu yang lain pun (Perusahaan, organisasi dan sejenisnya) dengan tujuan mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri.
Perilaku Korupsi rasa-rasanya sudah menjadi "hal lumrah" di Tanah air tercinta ini. Dari korupsi saghir sampai korupsi kabir alias mega korupsi yang banyak melibatkan banyak orang-orang "elite" dan orang-orang "atas" yang menyebabkan Mega korupsi itu sulit buat diungkapkan!
Korupsi Saghir (kecil) misalnya, jika ingin membuat sesuatu katakanlah KTP agar cepat diproses maka pegawai dikecamatan membutuhkan uang "rokok" supaya kerjanya lebih manpol. Atau seorang Polisi yang menilang dan si pengendara gak mau ribet-ribet maka cukuplah kasih polisi itu uang "makan" maka selesai perkara, walaupun kadang uang makan itu lebih banyak dari makan biasa, mungkin uang makan yang diperoleh polisi tersebut 10 kali lipat uang makan kita buat nasi padang dengan telor, daging ayam dan rendang!
Menutur pada keterangan Ubedilah Badrun yang tercatut dalam Tempo.co, Analisis sosial Politik Universitas Negeri Jakarta ini menerangkan sekurangnya ada empat faktor, kenapa elektabilitas partai "korup" tetap tinggi.
Alasan pertama, Ubedilah menyebutkan karena masyarakat umum yang terjaring sampel survei kemungkinan apolitik. "Tidak memiliki cukup pengetahuan tentang politik saat ini, termasuk informasi tentang partai paling korup," ujar Ubedilah dalam keterangannya, Senin, 23 Agustus 2021.
Alasan kedua, masyarakat secara umum belum mampu mencerna dan mengambil sikap untuk memberi hukuman bagi partai yang melakukan korupsi paling jahat sepanjang sejarah republik, yaitu korupsi uang bansos.
Secara moral dan dalam perspektif perilaku pemilih, kata Ubedilah, mestinya masyarakat kecewa dengan partai yang korupsi uang untuk rakyat miskin dan memberi sanksi dengan tidak lagi memilih partai penguasa yang korup itu. Alasan ketiga, tingginya elektabilitas tersebut menggambarkan bahwa antara rakyat dan partai tersebut sama-sama berwatak koruptif. "Partainya korup rakyatnya juga senang dengan korupsi. Ini perilaku yang sangat menjijikan sekaligus mengerikan bagi masa depan negara," katanya.
Keempat, Ubedilah menilai jika rakyat secara empirik masih rasional, bersikap kritis, dan antikorupsi, maka tingginya elektabilitas partai penguasa yang korup bukan lah realitas sebenarnya. Artinya, menurut dia, ada kemungkinan survei tersebut bayaran.
Pendidikan politik yang kurang dalam diri masyarakat dan tanpa ada niat merendahkan atau mengkerdilkan, kadang masyarakat kita sendiri suka dengan perilaku "koruptip". Misalnya, dalam pemilihan umum, ada beberapa calon yang suka bagi-bagi sembako atau uang agar rakyat memilihnya. Kebanyakan,
Rakyat kita akan menerimanya dengan alasan, "Mbok ya gak apa-apa, kita Cuma disuruh nyoblos doang, gak ada ruginya". Tanpa rakyat itu ketahui, bahwa segala kebijakan, segala sesuatu yang berkenaan dengan dirinya ditentukan pada pemilihan tersebut.
Hal lucu lainnya, ketika tersiar sebuah doktrin dalam masyarakat kita dan diarea kampung Penulis ini sangat menggelikan sekali, dimana ada anggapan jika kita diberi uang oleh pasangan calon buat memilihnya dan kita tidak memilihnya maka itu termasuk dosa.
Saya jadi teringat perkataan seorang ulama yang mengatakan bahwa jika ingin membuat sesuatu nampak indah dan baik, bungkuslah ia dengan Agama. Seperti kasus ini, bukankah jika secara kritis kita berpikir, perilaku rasuah, adalah sebuah dosa?
Opah (neneknya Upin Ipin) berkata, "Rasuah itu bukan Cuma terima uang saja, memberi uang untuk menghalalkan jalan kita pun termasuk rasuah" kira-kira begitu katanya, tapi tentunya dalam bahasa Melayu dan bahasa anak-anak.
Jadi, jelas kenapa masih banyak elektabilitas diperoleh oleh partai korup karena memang pada dasarnya kita sendiri sebagai rakyat, suka dengan korupsi, suka dengan keuntungan diri sendiri yang walaupun hal tersebut merugikan orang lain.
Dalam bahasa lebih sulit, "Dimana ada gula, disana ada semut". Tak ada partai korup yang menang, selama rakyat anti korupsi. Jika masih ada partai korup menang pemilu, disana rakyat suka korupsi.
Kira-kira kenapa? Apakah partai itu gagal mendidik kadernya?"
Jika kita menilik lebih jauh dalam arus sejarah. Sebenarnya di Indonesia ini, gak aneh-aneh banget kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Dulu, tahun 1948 misalnya- Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan di Madiun dipimpin oleh Muso dan kronconya. Anehnya, pada kontelasi pemilu 1955 PKI malah dapat peringkat ke 4 sebagai pemenang pemilu. Kan lucu?
Baca juga: Kritik Kita Kadang Suka Gitu
Tujuh tahun sebelumnya memberontak, mengancam kedaulatan ditengah agresi dan ancaman penjajahan kembali oleh Belanda yang dibantu sekutu. Eeh, ada partai politik yang mau bikin Negara ditengah berjuangnya orang-orang yang ingin mempertahankan kemerdekaan?
Dewasa ini pun, pemberontakan kepada bangsa dalam jenis lain alias perilaku korupsi yang dapat kita maknai sebagai perilaku untuk mengambil keuntungan dari wewenangnya sebagai pemangku kebijakan atau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai Korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang dengan cakupan bukan hanya uang Negara tapi pada sesuatu yang lain pun (Perusahaan, organisasi dan sejenisnya) dengan tujuan mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri.
Perilaku Korupsi rasa-rasanya sudah menjadi "hal lumrah" di Tanah air tercinta ini. Dari korupsi saghir sampai korupsi kabir alias mega korupsi yang banyak melibatkan banyak orang-orang "elite" dan orang-orang "atas" yang menyebabkan Mega korupsi itu sulit buat diungkapkan!
Baca juga: Radikalisme dan Kegagalan Ekonomi
Korupsi Saghir (kecil) misalnya, jika ingin membuat sesuatu katakanlah KTP agar cepat diproses maka pegawai dikecamatan membutuhkan uang "rokok" supaya kerjanya lebih manpol. Atau seorang Polisi yang menilang dan si pengendara gak mau ribet-ribet maka cukuplah kasih polisi itu uang "makan" maka selesai perkara, walaupun kadang uang makan itu lebih banyak dari makan biasa, mungkin uang makan yang diperoleh polisi tersebut 10 kali lipat uang makan kita buat nasi padang dengan telor, daging ayam dan rendang!
Menutur pada keterangan Ubedilah Badrun yang tercatut dalam Tempo.co, Analisis sosial Politik Universitas Negeri Jakarta ini menerangkan sekurangnya ada empat faktor, kenapa elektabilitas partai "korup" tetap tinggi.
Alasan pertama, Ubedilah menyebutkan karena masyarakat umum yang terjaring sampel survei kemungkinan apolitik. "Tidak memiliki cukup pengetahuan tentang politik saat ini, termasuk informasi tentang partai paling korup," ujar Ubedilah dalam keterangannya, Senin, 23 Agustus 2021.
Alasan kedua, masyarakat secara umum belum mampu mencerna dan mengambil sikap untuk memberi hukuman bagi partai yang melakukan korupsi paling jahat sepanjang sejarah republik, yaitu korupsi uang bansos.
Secara moral dan dalam perspektif perilaku pemilih, kata Ubedilah, mestinya masyarakat kecewa dengan partai yang korupsi uang untuk rakyat miskin dan memberi sanksi dengan tidak lagi memilih partai penguasa yang korup itu. Alasan ketiga, tingginya elektabilitas tersebut menggambarkan bahwa antara rakyat dan partai tersebut sama-sama berwatak koruptif. "Partainya korup rakyatnya juga senang dengan korupsi. Ini perilaku yang sangat menjijikan sekaligus mengerikan bagi masa depan negara," katanya.
Keempat, Ubedilah menilai jika rakyat secara empirik masih rasional, bersikap kritis, dan antikorupsi, maka tingginya elektabilitas partai penguasa yang korup bukan lah realitas sebenarnya. Artinya, menurut dia, ada kemungkinan survei tersebut bayaran.
Pendidikan politik yang kurang dalam diri masyarakat dan tanpa ada niat merendahkan atau mengkerdilkan, kadang masyarakat kita sendiri suka dengan perilaku "koruptip". Misalnya, dalam pemilihan umum, ada beberapa calon yang suka bagi-bagi sembako atau uang agar rakyat memilihnya. Kebanyakan,
Rakyat kita akan menerimanya dengan alasan, "Mbok ya gak apa-apa, kita Cuma disuruh nyoblos doang, gak ada ruginya". Tanpa rakyat itu ketahui, bahwa segala kebijakan, segala sesuatu yang berkenaan dengan dirinya ditentukan pada pemilihan tersebut.
Hal lucu lainnya, ketika tersiar sebuah doktrin dalam masyarakat kita dan diarea kampung Penulis ini sangat menggelikan sekali, dimana ada anggapan jika kita diberi uang oleh pasangan calon buat memilihnya dan kita tidak memilihnya maka itu termasuk dosa.
Saya jadi teringat perkataan seorang ulama yang mengatakan bahwa jika ingin membuat sesuatu nampak indah dan baik, bungkuslah ia dengan Agama. Seperti kasus ini, bukankah jika secara kritis kita berpikir, perilaku rasuah, adalah sebuah dosa?
Opah (neneknya Upin Ipin) berkata, "Rasuah itu bukan Cuma terima uang saja, memberi uang untuk menghalalkan jalan kita pun termasuk rasuah" kira-kira begitu katanya, tapi tentunya dalam bahasa Melayu dan bahasa anak-anak.
Jadi, jelas kenapa masih banyak elektabilitas diperoleh oleh partai korup karena memang pada dasarnya kita sendiri sebagai rakyat, suka dengan korupsi, suka dengan keuntungan diri sendiri yang walaupun hal tersebut merugikan orang lain.
Dalam bahasa lebih sulit, "Dimana ada gula, disana ada semut". Tak ada partai korup yang menang, selama rakyat anti korupsi. Jika masih ada partai korup menang pemilu, disana rakyat suka korupsi.